bughot
Bughat atau bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan. Kata bughoh jama’ dari baaghin artinya seorang penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata.
Yang dikatakan kaum
bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Adapun cara memberontak ialah dengan:
1. Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan Imamnya.
2. Atau menentang kepada keputusan Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata.
Orang-orang golongan manusia yang disebut bughat itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak Imamnya.
2. Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh mereka.
3. Mereka berbuat demikian, disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi keharusan baginya.
Adapun yang dikatakan Imamul Muslimin, ialah pemegang pemerintahan umum bagi kaum Muslimin, mengenai urusan agama dan urusan kenegaraannya dan dia diangkat berdasarkan bai’at (kesetiaan) dari masyarakatnya, entah langsung atau melalui wakil-wakilnya, yaitu: Para ulama, cendekiawan, dan para terkemuka yang disebut: Ahlul Hilli wal ‘aqdi. Pengangkatan Imam dianggap cukup dengan perantaraan mereka, karena mereka itu mudah untuk berkumpul dalam satu tempat, sehingga segala persoalan mudah diatasi/ diselesaikan.
Kaum Bughat bisa ditumpas dengan jalan:
Mula-mula Imam mengutus utusannya untuk menghubungi mereka guna meminta alasan sebab-sebabnya mereka memberontak. Hal ini sebagaimana tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dalam mengutus Ibnu Abbas untuk menghubungi golongan Nahrawan.
Kalau disebabkan karena Imamnya berbuat kedzaliman, hendaknya Imam itu meninggalkan/ merobah perbuatannya itu supaya menjadi baik.
Kalau Imam itu tidak merasakan bahwa dia itu tidak berbuat dhalim, hendaknya diadakan pertukaran fikiran antara Imam dengan pemimpin mereka (pemberontak).
Kalau mereka terus membandel, Imam berhak memberikan ultimatum kepada mereka, dengan akan diadakannya tindakan tegas, bila mereka tidak segera menyerahkan diri.
Kalau mereka terus membandel juga, Imam berhak untuk mengadakan tindakan dengan kekerasan senjata pula sebagai imbangan kepada perbuatan mereka.
Firman Allah:
“Kalau dua golongan dari golongan orang-orang Mukmin mengadakan peperangan, maka damaikanlah antara keduanya. Kalau salah satunya berbuat menentang perdamaian kepada lainnya, maka perangilah orang-orang (golongan) yang menentang itu sehingga mereka kembali ke jalan Allah. Kalau mereka kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan memang harus berbuat adillah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah itu mencintai pada orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujuraat: 9).
Kekhususan dalam Menghadapi Bughat, Imam Al-Mawardi menjelaskan ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak kaum Muslimin dengan memerangi orang-orang Musyrik dan orang-orang murtad.
Peperangan terhadap para pemberontak kaum muslimin dimaksudkan untuk menghentikan pemberontakan mereka dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain dibenarkan peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk membunuh mereka.
Para pemberontak kaum muslimin baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. Jika mereka mundur dari medan perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang orang-orang musyrik dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau mundur.
Orang-orang terluka dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan membunuh orang-orang terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada Perang Jamal, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu memerintahkan penyerunya untuk berseru dengan suara keras, “Orang yang telah mundur dari medan perang tidak boleh diserang, dan orang yang terluka tidak boleh dibunuh.”
Tawanan-tawanan yang berasal dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain tawanan-tawanan dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang dari para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat ; jika ia diyakini tidak kembali berperang (memberontak), ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali berperang (memberontak), ia tetap ditawan hingga perang usai. Jika perang telah usai, ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang. Al-Hajjaj pernah membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Qathri bin Al-Fuja’ah, karena keduanya saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut, “kembalilah berperang melawan musuh Allah, Al-Hajjaj.” Tawanan tersebut menjawab, “Aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan telah berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskannya!”
Harta para pemberontak tidak boleh diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh disandra. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,
منعت دار الإسلام ما فيها، وأباحت دار الشرك ما فيها.
Dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik.
Dalam memerangi para pemberontak, negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir muahid (yang berdamai dengan kaum muslimin), atau orang kafir dzimmi (kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin dengan membayar jizyah dalam jumlah tertentu), kendati hal tersebut dibenarkan ketika negara Islam memerangi orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad.
Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu dan juga tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi uang. Jika komandan perang pasukan Islam berdamai dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhinya. Jika ia tidak sanggup memerangi mereka, ia menunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia berdamai dengan mereka, dengan kompensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai’ mereka atau berasal dari sedekah (zakat) mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai’ dibagi-bagikan pada penerimanya. Jika uang perdamaian murni dari mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki pasukan Islam dan harus dikembalikan kepada mereka.
Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al-arradat (senjata pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma-kurma dan pohon-pohon mereka tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, kendati warganya memberontak.
Demikianlah pengertian tentang
bughat atau pemberontak Muslim di negeri yang pemerintahannya Islam. Perlawanan para pemberontak pemerintahan Islam itu sendiri apabila pemerintahnya dhalim, masih jadi pembicaraan, sebagai berikut:
Prof TM Hasbi As-Shiddieqy mengemukakan kaidah sebagai berikut:
“Tidak boleh kita menentang pemerintah atau kepala negara selama mereka belum melahirkan kufur yang nyata.”
Demikian pendapat Jumhur Ulama. Setengah ulama membolehkan, bahkan mewajibkan rakyat menentang kepala negara yang lalim, walaupun belum nyata kufurnya.
Dalam kaidah itu, pemerintahan Islam yang sah saja kalau penguasanya dhalim maka sebagian ulama membolehkan bahkan mewajibkan rakyat menentangnya. Lantas, bagaimana bisa pemerintahan Gus Dur yang sama sekali tidak doyan Islam itu mau didukung-dukung oleh orang-orang NU yang mencari-cari hukum bughat dan akan ditimpakan kepada para penentang Gus Dur yang dinilai dhalim? Bahkan sudah ada 500-an orang yang menyebut dirinya Pasukan Berani Mati (PBM) demi Gus Dur didatangkan dari Jawa Timur ke Jakarta.